"Etika dan moralitas adalah pilar yang seharusnya menyangga martabat para pemimpin kita. Namun, ketika kata-kata dan tindakan mereka justru menyakitkan hati rakyat, maka pilar itu tak lagi kokoh, tetapi rapuh dan retak," ungkap Dudi Supriadi dalam pernyataan yang penuh makna dan sindiran tajam.
Baca Juga: Yadi Roqib Jabbar: Dari Aceng Fikri ke Euis Ida, Sejarah Kelam Pelanggaran Etik di Garut
Reaksi masyarakat Garut terhadap sikap dan ucapan Euis Ida yang dianggap tidak beretika dan menyakitkan dalam merespons aksi unjuk rasa para guru honorer yang memperjuangkan hak mereka, menjadi cerminan betapa dalam luka yang ditorehkan. Ucapan yang seharusnya menenangkan dan menghargai, justru menjadi duri yang menusuk perasaan publik.
"Dalam pandangan kami, etika dan moral DPRD seharusnya menjulang tinggi, melebihi segala kepentingan individu dan kelompok. Rambu-rambu etika bukan sekadar kata-kata kosong, melainkan kompas moral yang harus diikuti dengan setia," tegas Dudi Supriadi.
Baca Juga: Beli Susu Anak dan Mangga Nangisna Sing Sae Euis Ida Wartiah dan Kepemimpinan yang Memukul Hati Rakyat
Lebih jauh, Dudi menyoroti lemahnya penegakan aturan etika di lingkungan DPRD Garut. Meskipun Peraturan DPRD Garut Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Tertib telah mengatur mekanisme pengaduan dugaan pelanggaran etika, namun tanpa aturan turunan yang jelas, penegakannya menjadi sia-sia. "Badan Kehormatan DPRD, yang seharusnya menjadi penjaga etika, kini hanya seperti singa tanpa taring. Dibentuk untuk menjaga moral, namun tak mampu berbuat apa-apa ketika etika dilanggar," kritiknya dengan tajam.
Badan Kehormatan, meskipun telah menerima beberapa pengaduan, termasuk dugaan pelanggaran etika oleh Ketua DPRD, tetap saja tidak menunjukkan keberanian dalam mengambil keputusan. "Kalaupun ada yang mengadukan pelanggaran etika oleh Ketua DPRD Garut, saya yakin Badan Kehormatan akan terdiam saja. Mekanisme pengaduan yang ada hanyalah formalitas tanpa substansi," sindir Dudi Supriadi.
Editor: Deni Gartiwa