GARUT60DETIK - Di lorong sunyi penuh liku, seorang pahlawan tanpa tanda jasa bernama Fitri Fauziah, atau biasa disapa Fizi, berjuang di bawah bayang-bayang ketidakadilan. Dengan honor tak lebih dari Rp. 400 ribu per bulan, Fizi menabur ilmu di SDN 1 Karyamukti, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat sejak tahun 2015. Namun, di balik ketulusan dan pengorbanannya, ada ironi yang menyakitkan hati.
Di sisi lain, Euis Ida Wartiah, Ketua DPRD Garut, duduk dengan anggun dan nyaman, menerima gaji hingga Rp. 50 juta per bulan. Kontras ini bukan sekadar ketimpangan, tetapi sebuah luka dalam yang merobek jiwa mereka yang tulus mengabdi.
Baca Juga: Di Balik Foto Bersama: Apakah Ini Tanda Koalisi PKS dan PDI Perjuangan di Pilkada Garut 2024?
Saat ribuan guru honorer, termasuk Fizi, menggelar aksi di depan gedung DPRD Garut, harapan mereka adalah didengar dan dihargai. Namun, jawaban yang mereka terima dari Euis Ida Wartiah adalah cemoohan yang menyesakkan, "Mangga Nagisna Sing Sae." Kalimat ini seolah menyatakan bahwa perjuangan mereka hanyalah lelucon belaka.
“Rasanya seperti ditusuk dari belakang,” ungkap Fizi dengan mata berkaca-kaca. “Kami datang dengan harapan, tapi yang kami dapat hanya penghinaan.”
Kritik terhadap pemerintah semakin lantang terdengar. Bagaimana mungkin seorang guru yang setiap hari berjuang mencerdaskan anak bangsa, hanya dihargai Rp. 400 ribu per bulan? Jumlah yang bahkan tak cukup untuk kebutuhan dasar. Sementara itu, para pejabat menikmati segala fasilitas dengan gaji puluhan juta.
“Honor kami sangat tidak manusiawi. Ini bentuk ketidakadilan yang nyata,” lanjut Fizi dengan suara gemetar. “Kami bukan hanya mengajar, tetapi membangun masa depan bangsa. Tapi bagaimana kami bisa fokus jika perut kosong dan kebutuhan tak terpenuhi?”