Potret Pendidikan! Honor 400 Ribu Fitri Fauziah Berbanding Terbalik dengan Gaji Ketua DPRD Garut

- 16 Juni 2024, 23:56 WIB
 Fitri Fauziah, atau biasa disapa Fizi, Guru Honor di SDN 1 Karyamukti, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut
Fitri Fauziah, atau biasa disapa Fizi, Guru Honor di SDN 1 Karyamukti, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut /

GARUT60DETIK - Di lorong sunyi penuh liku, seorang pahlawan tanpa tanda jasa bernama Fitri Fauziah, atau biasa disapa Fizi, berjuang di bawah bayang-bayang ketidakadilan. Dengan honor tak lebih dari Rp. 400 ribu per bulan, Fizi menabur ilmu di SDN 1 Karyamukti, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat sejak tahun 2015. Namun, di balik ketulusan dan pengorbanannya, ada ironi yang menyakitkan hati.

Di sisi lain, Euis Ida Wartiah, Ketua DPRD Garut, duduk dengan anggun dan nyaman, menerima gaji hingga Rp. 50 juta per bulan. Kontras ini bukan sekadar ketimpangan, tetapi sebuah luka dalam yang merobek jiwa mereka yang tulus mengabdi.

Baca Juga: Di Balik Foto Bersama: Apakah Ini Tanda Koalisi PKS dan PDI Perjuangan di Pilkada Garut 2024?

Saat ribuan guru honorer, termasuk Fizi, menggelar aksi di depan gedung DPRD Garut, harapan mereka adalah didengar dan dihargai. Namun, jawaban yang mereka terima dari Euis Ida Wartiah adalah cemoohan yang menyesakkan, "Mangga Nagisna Sing Sae." Kalimat ini seolah menyatakan bahwa perjuangan mereka hanyalah lelucon belaka.

“Rasanya seperti ditusuk dari belakang,” ungkap Fizi dengan mata berkaca-kaca. “Kami datang dengan harapan, tapi yang kami dapat hanya penghinaan.”

Kritik terhadap pemerintah semakin lantang terdengar. Bagaimana mungkin seorang guru yang setiap hari berjuang mencerdaskan anak bangsa, hanya dihargai Rp. 400 ribu per bulan? Jumlah yang bahkan tak cukup untuk kebutuhan dasar. Sementara itu, para pejabat menikmati segala fasilitas dengan gaji puluhan juta.

Baca Juga: Beli Susu Anak dan Mangga Nangisna Sing Sae Euis Ida Wartiah dan Kepemimpinan yang Memukul Hati Rakyat

“Honor kami sangat tidak manusiawi. Ini bentuk ketidakadilan yang nyata,” lanjut Fizi dengan suara gemetar. “Kami bukan hanya mengajar, tetapi membangun masa depan bangsa. Tapi bagaimana kami bisa fokus jika perut kosong dan kebutuhan tak terpenuhi?”

Pernyataan Euis Ida Wartiah adalah simbol arogansi kekuasaan yang buta akan realitas. Ini memperlihatkan betapa jauhnya para pemimpin dari pemahaman terhadap perjuangan guru honorer. Seharusnya mereka yang di kursi kekuasaan menghargai jerih payah kami, bukan merendahkan,” tegas Fizi. “Kami meminta perhatian, bukan cemoohan.”

Baca Juga: Desak Euis Ida Di-PAW, Ketua Umum FAGAR Garut Ancam Kerahkan Ribuan Guru Honorer ke DPP Golkar

Kritik terhadap sistem pendidikan dan kebijakan yang ada harus terus disuarakan. Guru honorer seperti Fizi berjuang bukan hanya untuk kehidupan mereka sendiri, tetapi untuk masa depan anak-anak bangsa. Honor minim mencerminkan kegagalan sistem dalam menghargai pahlawan tanpa tanda jasa ini.

Tantangan bagi guru honorer bukan hanya soal honor yang tak layak, tetapi juga kurangnya perhatian dan penghargaan dari pemerintah daerah. Kebijakan seolah hanya menguntungkan mereka di puncak kekuasaan, sementara yang di garis depan diabaikan.

“Kami hanya ingin keadilan. Kami hanya ingin dihargai,” kata Fizi dengan harapan dan air mata yang hampir tumpah. “Jangan biarkan kami terus berjuang sendirian.”

Kisah Fizi Fauziah adalah potret nyata ketidakadilan yang harus segera diatasi. Sudah saatnya pemerintah membuka mata dan telinga, memperhatikan nasib guru honorer yang mengabdi demi masa depan anak bangsa. Perjuangan ini belum berakhir, dan Fizi serta ribuan guru honorer lainnya masih menunggu janji yang belum terealisasi. Biarkan kisah ini menjadi pengingat bahwa di balik kemewahan para pemimpin, ada perjuangan nyata yang butuh perhatian dan penghargaan. **

Editor: Deni Gartiwa


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah